Rabu, 07 November 2012

Digit Kehidupan

Bima kini berada di persimpangan, kepalanya menengadah ke atas. Dua digit angka berwarna merah yang ia tatap menunjukkan bahwa ia masih memiliki 90 (sekarang 89) detik untuk mengambil keputusan. Lurus, belok kanan, atau putar balik ke kiri?

Masih terjebak dalam pikirannya, pandangannya kini tertuju kepada sebuah plat berwarna biru di sudut bertuliskan "Belok Kiri Jalan Terus". Seiring dengan mulai maraknya pertaruhan di dalam kepalanya itu, tanpa sadar Bima memain-mainkan tombol analog lampu sign dengan ibu jari kirinya, sementara di antara jari telunjuk dan jari tengahnya dijepitnya sebuah botol mineral kosong. Sempat terdengar beberapa kali teriakan klakson sepeda motor memprotes lampu sign-nya sambil lalu ke arah kiri. Bima tidak mengindahkannya. "Masa bodoh", pikirnya. Berkecamuknya suara-suara di dalam kepalanya itu kini telah terasa seperti tontonan Final IBL (tak ada yang mampu mengalihkan perhatiannya, bahkan teriakan ibunya yang menyuruhnya untuk mengangkat jemuran).

TIIIN TIIIIIN! Sebuah sepeda motor kembali menggerutu padanya sambil lalu ke kiri. "Sial !", gerutunya. "Andai mereka semua tahu bahwa aku sedang bermain dengan hidup dan mati seseorang..."

Ibu Bima adalah seseorang yang terpelajar. Lulus S2 dengan nilai A bulat, mendapat tawaran pekerjaan dari berbagai arah, dan pilihan (atau bahkan bukan pilihan) yang diambil beliau adalah menjadi guru kesenian di SMA dekat rumahnya. Bima sangat menyayangkan pilihan ini (dan sepertinya hampir semua orang di dunia akan memikirkan hal yang sama), bukannya pekerjaan sebagai guru itu hina, tapi sungguh sangat disayangkan saja apabila tawaran dengan gaji yang jauh lebih tinggi daripada honorarium pegawai negeri sipil biasa disia-siakan begitu saja.

Ibu Bima adalah seorang Java-freak, dan hal itu menyebalkan. Itulah alasan utama mengapa kontrak dari ibukota senilai ratusan juta rupiah terbang begitu ringan layaknya daun yang telah mengering. Ibunya tersayang ini terlalu mencintai tanah Jawa dan adatnya, saking cintanya hingga kerap kali terasa memuakkan). Bima tak mau lagi mendengar komentar, tolakan, sanggahan atau semacamnya untuk mengecam orang yang menggandrungi adat Jawa, karena apa yang dilakukan ibunya jelas-jelas salah. Tentu saja salah apabila adiknya harus dititipkan kepada budhe-nya selama empat tahun karena hari lahirnya sama seperti ayahnya. Tentu tak benar bila setiap pohon yang diameternya tidak memungkinkan untuk dipeluk dengan kedua lengan harus diberkati dengan satu tampah berisi satu kepal beras putih, satu cawan bubur merah-putih, dua butir telur bebek, satu tandan buah pisang, dan bunga tujuh warna di pinggiran tampahnya setiap malam Jumat minggu ketiga. Dan jam empat sore ini, lima belas menit yang lalu, sepuluh kilometer dari tempat Bima berada sekarang, ibu Bima kembali melakukan khilafnya........ *bersambung*

Tidak ada komentar: