Kamis, 08 November 2012

Digit Kehidupan #2

Tepat setelah sholat Ashar sore ini, sebenarnya Bima punya rencana untuk main ke rumah salah satu teman dekatnya. Dan di sinilah 'kekhilafan' mulai terjadi, ketika ia akan berpamitan dengan ayahnya yang sedang menyirami tanaman hiasnya yang tertata rapi di atas bangku kecil halaman depan, terdengarlah jeritan menggaung dari dalam rumah, "Pak! Ibu, Pak!! Ibu!!". Bima tahu betul itu suara ibunya, dan Bima tahu betul bahwa suara itu berasal dari kamar kecil belakang yang terletak di samping dapur (kamar yang cenderung dihindari Bima karena perabot warisan turun-temurun berkumpul jadi satu di kamar ini dan semuanya mengeluarkan bau-bauan aneh). Pikirannya kosong, ia bahkan hampir tidak menyadari suara bergedebukan sprayer, yang dijatuhkan ayahnya yang sontak berlari panik ke dalam rumah, hingga muatan airnya yang masih separo penuh tumpah ke lantai dan membasahi kaos kaki yang dikenakannya.

Sebelum Bima dapat melakukan tindakan apapun yang normal, ia merasakan saku kanannya bergetar, dan ia mengangkatnya. Ternyata pesan dari sahabatnya, Iwan:

Bos, jd maen? Td duit patunganx udh Q beliin joystick dobel. Msh sisa 9rb

Ketika Bima akan menekan keypad kiri telepon genggamnya, ternyata ibunya telah berada tepat di depannya, wajahnya agak kemerahan, matanya sedikit berair, dan kedatangannya membawa aroma bumbu dapur. "Bima, nenek sakit. Tolong kamu pergi ke telaga di dekat tempat tinggal nenek dulu, ambillah air dari sana dan bawa balik ke sini buat nenek. Tapi sebelum kamu mengambil air, terlebih dahulu ambillah tiga butir batu karang putih yang berserakan di bawah pohon beringin nomor dua dari utara. Lemparkan ketiga batu tadi ke telaga untuk terlebih dahulu mengusir jin penunggunya. Ini botolnya..." kata ibu Bima sembari menyerahkan botol air mineral ukuran 600 ml. Bima melihat di badan botol itu (yang seharusnya terdapat label merek produk) terdapat tiga karet gelang berwarna merah, kuning, dan hijau.

"Tapi rumah nenek kan dua jam dari sini, Bu..."

Ibunya tidak menjawab. Tidak ada bentakan ataupun pukulan yang dulu sering diterima Bima ketika kecil. Namun ibu Bima bukanah tipe orang yang mampu menyembunyikan air muka, Bima kenal betul ekspresi itu. Bukan kekecewaan, melainkan sebuah kepasrahan, ketidakberdayaan. Bima pun luluh, tanpa sepatah ucap pun, Bima langsung menurut.

Dan sekarang, di persimpangan jalan besar ini, Bima bahkan masih mempertimbangkan, seberapa bodoh keputusan yang ia buat lima belas menit yang lalu........ *bersambung*

Tidak ada komentar: