Minggu, 11 November 2012

Digit Kehidupan #4

Bima kini berada di tempat itu. Tepat di depan pohon beringin nomor dua dari utara. Ia memandang sekeliling, semuanya masih sama seperti saat dia terjatuh dari sepeda tua kakeknya sepuluh tahun yang lalu. Bima menunduk, dan ketika ia mendongak kembali, di tangan kanannya telah tergenggam tiga batu karang putih. Terasa begitu kasar di tangannya yang dingin, kaku, dan berkeringat. Kemudian dituruninya jalan setapak yang tidak jauh dari pohon beringin tempatnya mengambil batu karang.

Tiga batu karang telah dilempar. Bima berharap jin (atau apapun) penunggu telaga telah pergi, meskipun ia tidak merasakan apapun yang pergi selain katak yang tadi berada di dekatnya. Yang kini ia tahu adalah langit telah berubah makin merah dan nenek dan ibunya masih menunggu di rumah. Bima pun membuka botol yang semenjak dua jam lalu dipeganginya, dan mengisinya dengan air dari telaga itu..

Tepat ketika botol terisi penuh, Bima merasakan ponsel di sakunya berdering. Masih ia sempatkan untuk menutup botol tersebut, ia pun mengangkatnya. Sudah diduganya berasal dari siapa...

"Halo?"
"KAMU TERLAMBAT, BIMA! DASAR ANAK DURHAKA! KAMU PASTI MAMPIR KE RUMAH PACARMU, IYA KAN??!!"
"Eeeh, Bu.. Aku....."
"ENGGAK USAH BANYAK ALASAN!! JANGAN PULANG MALAM INI! KAMU ENG......"

Terdengar suara gesekan dan decitan tak karuan. Dan suara tercekik berganti dengan suara berat.

"Bima, nenek meninggal. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu cepat pulang."
"A-a..."
"Sudah Bima.. Jangan terlalu dipikirkan kata-kata ibu tadi. Pulang saja, hati-hati.."

Ibunya menjerit.

"Aku... Aku pasti pulang. Segera."

Bima mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban ayahnya. Dia kosong, tak tahu apa yang harus dilakukan, atau bahkan yang harus dipikirkan. Seakan semuanya menekan kepalanya. Ia ingin melampiaskannya, dan apa yang terdapat di tangannya kini hanyalah sebotol air mineral...

BYYUUUURRRR!!!

Bima pun menjatuhkan lututnya ke tanah, dibenamkannya kepala ke pangkuan, dan dicengkeramlah rambutnya dengan kedua tangannya.. Air telaga sialan, ibu sialan, semua sialan!!

Hawa dingin memeluknya...


Dan ketika ia menengadahkan kepalanya, sesosok hitam tiba di hadapannya dengan aura senyap mematikan.

"Waktumu telah habis..."

Tidak ada komentar: