Sabtu, 14 Januari 2012

Jalan 'Tuk Pulang

Kuucap kata selamat tinggal kepada sahabatku yg masih utak-atik laptopnya di Masjid Al-Uswah. Seorang kakak kelas sempat mencegatku dan bertanya, "Baru pulang, dik?". Dan hanya kujawab dengan sebuah kata yg mungkin sudah dihafal beberapa orang, "Ya". Dan langsung kulangkahkan kaki keluar dari lingkungan sekolah kebanggaanku, SMA Teladan.
Kuseberangi jalan Cokroaminoto dan kurentangkan tanganku dengan jempol nongol ke depan. Dan sebuah bus super mewah berlabel "Jogja-Tempel" berhenti tepat di dekatku. Si kondektur membimbingku masuk. Sial, sudah penuh. Terpaksa berdiri menunggu sebuah kursi kosong menawarkan tempatnya untukku.
Asap rokok berhasil menerobos hidungku dan mataku langsung fokus kepada seseorang yg duduk di samping sopir sembari ngobrol dengannya. "Dasar, tidak tahu sopan santun!", gerutuku dalam hati. Tanpa sadar, ternyata si kondektur sudah menjulurkan tangannya di depanku tanda minta makan. Dan kuserahkan dua lembar irisan kayu bergambar Kapitan Pattimura kepadanya.
Akhirnya seorang pemuda bangkit dari kursinya dengan sempoyongan. Dia mendorongku dan berkata, "Minggir!" dengan mulutnya yg masih bau Scotch murahan produk negeri sendiri. "Dasar mabok", pikirku. Dan kubiarkan dia pergi. Aku hanya memberinya jalan, duduk, dan sedikit sengiran sadis melihat pemabuk itu jatuh tersungkur. Si kondektur tidak henti-hentinya menertawakan sosok yg masih mencium pertiwi yg telah berlapiskan aspal hitam itu. Sopirpun hanya tertawa sejenak dan kembali menggembalakan kami ke rumah kami.
Lelah hari itu membuatku hampir tertidur di jok yg sudah sobek dan dipenuhi tulisan tangan oleh mereka yg tidak tahu berapa harga bus ini.
Belum aku menggapai alam mimpi, dan tiba-tiba kudengar suara berisik. Aku terbangun saat bus berhenti. Sang sopir mengucapkan sesuatu dalam bahasa Sansekerta sambil menunjuk-nunjuk keluar jendela. Kondektur membimbing kami keluar. Sudah kutebak, kami dioper. Tapi kenapa? Dan kulihat sebuah sosok kosong berpakaian putih-abu abu yg tergeletak di dekat ban bus yg kami naiki. Darah yg mengalir deras menambah daftar panjang korban kecelakaan di bumi Indonesia ini. Kulihat sang mayat masih mengepalkan tangan tanda ia masih ingin berjuang untuk negeri. Motornya hancur bersamaan dengan hancurnya masa depan yg dititinya selama ini. Matanya memandang sayu tanda ia menyesal akan perbuatannya. Mulutnya menganga seakan memanggil-manggil nyawanya yg telah dibawa pergi oleh Izrail untuk kembali.
Namun aku tetap berjalan ke arah bus berikutnya meninggalkan teman sebayaku itu. Itukah masa depanku? Tidak, aku tidak menginginkannya. Masih terpikir akan hal itu, dan ternyata bus yg kunaiki sudah sampai Terminal Jombor. Terminal yg telah meredup kebesaran namanya ditelan zaman dan usia yg sudah tergelincir ke barat. Berhenti sejenak disana. Sepuluh menit kemudian, bus kembali berjalan. Di luar Jombor, seorang nenek menaiki bus. Keseimbangannya yg drop membuatnya hampir terjatuh. Seakan gaya refleks, kusambar kedua tangannya dan memberikan kepadanya singgasanaku. Nenek itu berkata, "Maturnuwun, cah bagus". Sedikit rasa bangga menghangat dalam hatiku. Aku sendiri bingung, kok bisa rasa menyesalku tidak muncul? Tapi tak apalah, mudah-mudahan amalanku ini berkah. Sekali-kali berdiri supaya otot tak kaku.
Aku kembali duduk setelah seorang ibu dengan berton-ton barang dagangan pasar turun bersamaan dengan tubuhnya yg "selangsing" rumah kontrakan pamanku. Ibu itu ternyata turun bersama satu keluarganya. Jadi, bus ini lengang sekarang. Aku bisa duduk di dekat jendela sekarang. Menyisakan satu bangku kosong disebelahku.
Beberapa menit kemudian, bangku itu terisi oleh seorang laki-laki keturunan kaum Shadum. Dasar banci kegatelan, dia colek-colek daguku sambil berkata, "Ih, kecil-kecil ganteng". Tapi kubiarkan saja. Tidak seperti kejadian dua bulan lalu ketika ada lima banci yg mengepungku, membuatku takut dan turun dari bus sebelum sampai tujuan. Tapi, sekarang hanya ada satu. Satu tonjokan saja dia pasti kapok. Tapi kubiarkan, anggap saja cewek pertamaku. Lagipula, dia masih mukhrimku, dia kan laki-laki.
Aku turun di pertigaan Medari. Menyeberang jalan dan menyusuri jalan ke rumah yg masih dua kilometer lebih. Di jalan, langsung kulihat dua pabrik tekstil yg mengapit dan menguasai sepanjang jalan. Pabrik yg megah dari luar. Bahkan aku pernah bermimpi menjadi bagian darinya. Tapi, apa mauku sekarang. Pabrik ini sudah keropos dari dalam. Beberapa karyawan bahkan memecat diri sendiri untuk menyelamatkan keluarganya sebelum pabrik ini gulung tikar mendadak dan mereka tidak mendapat jatah pensiun.
Selepas dari pabrik, kusapa madrasah tempatku sekolah di sana selama 6 tahun. Sukses rupanya sekarang. Kudengar itu dari adikku yg masih tingkat tiga di sana. Sekarang fasilitas ibadah sudah lengkap. Tidak seperti zamanku yg harus menimba air sumur sebelum waktu shalat Zuhur tiba. Sekarang tiap tahun ajaran baru, lebih dari 50 calon siswa baru mengantre. Tidak seperti angkatanku yg sewaktu penerimaan siswa baru hanya menerima 7 siswa baru ditambah 2 tunggakan. Akhirnya angkatan kami lulus semua dengan jumlah siswa 11 anak. Senyum melebar di wajahku mengingat dulu aku yg mengangkat nama sekolahku dengan prestasiku. Sejak saat itu, Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan sering mendapat dana dari pemerintah karena dianggap sebagai sekolah berprestasi.
Keluar dari pemandangan sekolah, kulihat sebuah warung makan kecil. Kupalingkan wajahku darinya mengingat aku masih berhutang sepiring nasi tongseng kambing dan mencuri tiga butir permen gula-gula (ups, buka rahasia!).
Memasuki perumahanku, kususuri jalan sepanjang Kali Nyo. Melihat sungai sempit ini, selalu teringat temanku yg hampir hanyut di sana dan saat aku pernah dimarahi oleh seorang nenek tua yg sedang berak di kali karena kulempar batu tepat mengenai pantatnya. Hahaha, kenangan masa lalu..
Di jalan, aku bertemu anak kecil yg berteriak padaku, "Mas Fajri! Ayo main remi, aku menang wis saiki (Mas Fajri! Ayo main kartu remi, aku pasti menang sekarang)". Kujawab, "Yo, mengko bengi wae. Toh-tohane apa? (Ya, nanti malam saja. Apa taruhannya?)". Dia menjawab, "Yen kowe menang, tak kek'i rambutan, yen kowe kalah, tukokke aku layangan (Jika kamu menang, akan kuberi rambutan, jika kamu kalah, belikan aku sebuah layang-layang". "Oke", jawabku. Aku memang terkenal "beruntung" jika main kartu remi. Karena itulah, kuterima semua tantangan.
Sesampai di rumah, kuucap salam. Di dalam sudah ada ayahku yg sedang membimbing murid-murid les-nya di teras rumah. Aku masuk ke dalam dan kulihat adikku sedang tidur pulas di kasurnya. Dasar gembul, kerjaannya hanya makan-tidur saja. Kuletakkan tas di kursi tamu, dan kurebahkan badanku di lantai depan televisi. Tak sempat berpikir apa yg akan diucapkan ibuku jika melihatku nanti...

1 komentar:

PututRomana mengatakan...

.wooooa,,ceritanya so sweet dek..lanjutkan!!
tapi kamu gak KW kan??belom diapa-apain sama bancinya kan??hahaha..